Benarkah kita sudah merdeka?
Euforia Agustusan sudah berlalu seiring bergantinya bulan. Berbagai lomba yang memicu gelak tawa dan persaingan pun telah usai. Jalan santai, sepeda santai gerak jalan dan macam - macam festival (beserta doorprizenya) tak lagi menjadi pembicaraan panas di masyarakat sekitar rumah. Namun, di benak saya masih saja berseliweran banyak pertanyaan mengenai fenomena Agustusan yang menjadi ajang perayaan HUT RI setiap tahunnya. Serasa ada sesuatu yang mengganjal dan menyesakkan dada. Indonesia sudah merdeka, benarkah ?? Lalu, beginikah seharusnya cara bangsa Indonesia merayakannya?
Begitulah, satu pertanyaan belum tuntas terjawab tapi semakin banyak lagi pertanyaan yang melompat - lompat memenuhi kepala saya tak mau ketinggalan menunggu giliran untuk segera dijawab.
Sorak sorai penonton lomba panjat pinang begitu riuh saat para peserta berusaha memanjat pinang yang sdh licin karena dilumuri oli atau pelumas lainnya dan jatuh merosot kembali. Tepuk tangan begitu gemuruh saat anak - anak beradu cepat dalam lomba balap karung ataupun lomba makan kerupuk. Dan masih banyak lagi gegap gempita yang memenuhi hari - hari selama bulan Agustus. Apakah memang harus begini caranya untuk menumbuhkan rasa nasionalisme kepada anak - anak dan para pemuda yang merupakan penerus bangsa ini? Mental seperti apakah yang hendak ditanamkan? Persaingan?
Di malam tanggal 16 Agustus ( jelang tanggal 17 Agustus) di kota saya biasa diadakan acara tirakatan. Acara tersebut bertujuan untuk mengenang jasa para pahlawan sebelum proklamasi kemerdekaan. Namun yang membuat sesak adalah saat acara tersebut diisi dengan acara makan besar dengan berbagai hidangan yang cukup menguras biaya dan juga diadakannya hiburan (orkes dangdut) hingga larut malam. Edukasi apakah yang hendak diberikan kepada para pemuda kita?
Ya, orang boleh berbeda pendapat. Mereka pasti punya alasan sendiri dengan mengadakan kegiatan - kegiatan tersebut yang seakan menjadi sebuah tradisi dan keharusan setiap bulan Agustus. Rutinitas acara yang wajib dilaksanakan tanpa esensi yang jelas. Bahkan, upacara HUT RI pun hanya terkesan sebagai kewajiban saja bagi pesertanya tanpa benar - benar memaknai arti kemerdekaan yang dulu telah diperjuangkan oleh para pahlawan kemerdekaan.
Miris rasanya hati ini melihat semua fenomena tersebut. Di saat keceriaan memenuhi perayaan Agustusan, tak sedikit masyarakat yang juga merupakan bagian dari bangsa ini sedang mengalami kesulitan dan sedang dirundung kesedihan karena himpitan ekonomi dan keterbatasan biaya untuk bisa hidup layak. Di kala banyak orang yang berpesta dengan hidangan yang beraneka ragam lauknya, di belahan bumi Indonesia yang lain ( atau bahkan di sekitar mereka sendiri) sedang kelaparan karena tiada biaya untuk bisa membeli beras apalagi lauk. Ketika hiruk pikuk hiburan dangdut (atau semacamnya) membuai para peontonnya, ada para petani yang sedih karena gagal panen. Ada para petani yang mengeluhkan panen mereka yang tidak laku dan lantaran kalah dengan beras impor, gula impor, garam impor dan segala 'imporan' lainnya. Dimanakah esensi dari semua perayaan tersebut? Bukankah sebaiknya pada malam tirakatan diputar saja film - film dokumenter perjuangan para pejuang saat merebut kemerdekaan untuk menyadarkan masyarakat betapa gigihnya para pejuang hingga harus berkorban nyawa dan harta benda untuk mendapatkan itu semua? Atau diisi saja dengan malam renungan yang mengingatkan kembali tentang pedih dan getirnya perjuangan sehingga mampu memantik semangat para pemuda untuk melanjutkan perjuangan dalam bentuk lainnya dengan penuh kesadaran karena pemaknaan yang mendalam tentang kemerdekaan ini. Biaya yang terkumpul untuk berpesta maupun festival akan menjadi lebih bermanfaat dan bermakna jika disumbangkan kepada mereka yang sedang kelaparan dan mengalami kesulitan hidup. Ada rasa solidaritas, kebersamaan dan saling kasih sayang yang terhujam di hati dan terasa begitu indah jika hal tersebut benar - benar bisa terealisasi.
Satu pertanyaan lagi yang mengusik saya tentang kemerdekaan ini. Merdeka yang diartikan terbebas dari penjajahan. Benarkah? Kalo penjajahan seperti para kompeni dulu mungkin, iya. Dimana penduduk Indonesia teraniaya di negeri sendiri secara mental dan fisik. Segala sumber daya alam dikuasai oleh penjajah. Penyiksaan fisik terjadi dimana-mana. Pribumi dieksploitasi dengan kejam.
Namun, jika kita menengok lagi ke masa sekarang, dimasa kita masih bernafas dan melihat segala kejadian yang terjadi saat ini, apakah kita sudah benar-benar merdeka dari penjajahan? Segala barang yang diedarkan di pasaran adalah barang-barang impor, lalu dimanakah produk pribumi? Ya, tentu saja hanya menumpuk di rumah-rumah ataupun di gudang-gudang mereka karena tidak laku. Bukankah ini namanya penjajahan? Aset-aset negara banyak dikuasai asing. Saham dan sumber daya alam pun tak beda nasibnya, didominasi oleh asing. Kita bangsa Indonesia yang kaya alamnya harus menjadi buruh yang memperkaya para majikan asing di negara sendiri yang begitu makmur dan harus kelaparan di negeri yang subur. Dan benarkah kita benar-benar sudah merdeka?
Sorak sorai penonton lomba panjat pinang begitu riuh saat para peserta berusaha memanjat pinang yang sdh licin karena dilumuri oli atau pelumas lainnya dan jatuh merosot kembali. Tepuk tangan begitu gemuruh saat anak - anak beradu cepat dalam lomba balap karung ataupun lomba makan kerupuk. Dan masih banyak lagi gegap gempita yang memenuhi hari - hari selama bulan Agustus. Apakah memang harus begini caranya untuk menumbuhkan rasa nasionalisme kepada anak - anak dan para pemuda yang merupakan penerus bangsa ini? Mental seperti apakah yang hendak ditanamkan? Persaingan?
Di malam tanggal 16 Agustus ( jelang tanggal 17 Agustus) di kota saya biasa diadakan acara tirakatan. Acara tersebut bertujuan untuk mengenang jasa para pahlawan sebelum proklamasi kemerdekaan. Namun yang membuat sesak adalah saat acara tersebut diisi dengan acara makan besar dengan berbagai hidangan yang cukup menguras biaya dan juga diadakannya hiburan (orkes dangdut) hingga larut malam. Edukasi apakah yang hendak diberikan kepada para pemuda kita?
Ya, orang boleh berbeda pendapat. Mereka pasti punya alasan sendiri dengan mengadakan kegiatan - kegiatan tersebut yang seakan menjadi sebuah tradisi dan keharusan setiap bulan Agustus. Rutinitas acara yang wajib dilaksanakan tanpa esensi yang jelas. Bahkan, upacara HUT RI pun hanya terkesan sebagai kewajiban saja bagi pesertanya tanpa benar - benar memaknai arti kemerdekaan yang dulu telah diperjuangkan oleh para pahlawan kemerdekaan.
Miris rasanya hati ini melihat semua fenomena tersebut. Di saat keceriaan memenuhi perayaan Agustusan, tak sedikit masyarakat yang juga merupakan bagian dari bangsa ini sedang mengalami kesulitan dan sedang dirundung kesedihan karena himpitan ekonomi dan keterbatasan biaya untuk bisa hidup layak. Di kala banyak orang yang berpesta dengan hidangan yang beraneka ragam lauknya, di belahan bumi Indonesia yang lain ( atau bahkan di sekitar mereka sendiri) sedang kelaparan karena tiada biaya untuk bisa membeli beras apalagi lauk. Ketika hiruk pikuk hiburan dangdut (atau semacamnya) membuai para peontonnya, ada para petani yang sedih karena gagal panen. Ada para petani yang mengeluhkan panen mereka yang tidak laku dan lantaran kalah dengan beras impor, gula impor, garam impor dan segala 'imporan' lainnya. Dimanakah esensi dari semua perayaan tersebut? Bukankah sebaiknya pada malam tirakatan diputar saja film - film dokumenter perjuangan para pejuang saat merebut kemerdekaan untuk menyadarkan masyarakat betapa gigihnya para pejuang hingga harus berkorban nyawa dan harta benda untuk mendapatkan itu semua? Atau diisi saja dengan malam renungan yang mengingatkan kembali tentang pedih dan getirnya perjuangan sehingga mampu memantik semangat para pemuda untuk melanjutkan perjuangan dalam bentuk lainnya dengan penuh kesadaran karena pemaknaan yang mendalam tentang kemerdekaan ini. Biaya yang terkumpul untuk berpesta maupun festival akan menjadi lebih bermanfaat dan bermakna jika disumbangkan kepada mereka yang sedang kelaparan dan mengalami kesulitan hidup. Ada rasa solidaritas, kebersamaan dan saling kasih sayang yang terhujam di hati dan terasa begitu indah jika hal tersebut benar - benar bisa terealisasi.
Satu pertanyaan lagi yang mengusik saya tentang kemerdekaan ini. Merdeka yang diartikan terbebas dari penjajahan. Benarkah? Kalo penjajahan seperti para kompeni dulu mungkin, iya. Dimana penduduk Indonesia teraniaya di negeri sendiri secara mental dan fisik. Segala sumber daya alam dikuasai oleh penjajah. Penyiksaan fisik terjadi dimana-mana. Pribumi dieksploitasi dengan kejam.
Namun, jika kita menengok lagi ke masa sekarang, dimasa kita masih bernafas dan melihat segala kejadian yang terjadi saat ini, apakah kita sudah benar-benar merdeka dari penjajahan? Segala barang yang diedarkan di pasaran adalah barang-barang impor, lalu dimanakah produk pribumi? Ya, tentu saja hanya menumpuk di rumah-rumah ataupun di gudang-gudang mereka karena tidak laku. Bukankah ini namanya penjajahan? Aset-aset negara banyak dikuasai asing. Saham dan sumber daya alam pun tak beda nasibnya, didominasi oleh asing. Kita bangsa Indonesia yang kaya alamnya harus menjadi buruh yang memperkaya para majikan asing di negara sendiri yang begitu makmur dan harus kelaparan di negeri yang subur. Dan benarkah kita benar-benar sudah merdeka?
Komentar
Posting Komentar